Kiriman Alumni

Depan Kalender Contact Photo Tentang Tradisi Buku Tamu Favorite Links Kiriman Alumni What's New

Artikel Alumni

JANGAN REMEHKAN KEMAKSIATAN 

Ada sebuah kisah, pada zaman nabi Musa, tersebutlah seorang pemuda ahli ibadah (‘Abid) yang banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah kepada Allah Subhanahuwata’ala, kesehariannya dihabiskan di masjid.

Suatu ketika saat seperti biasanya, si ‘Abid sedang melaksanakan ibadahnya, tiba-tiba masuk seorang kakek yang hendak melakukan ibadah, ada yang menarik perhatian si ‘Abid dari ibadah si kekek tersebut. Lama diperhatikannya, si kakek beribadah sepanjang hari dan malam seperti tidak merasakan kelelahan sedikitpun, begitu seterusnya, sampai keesokan hari pada saat si ‘abid hendak memasuki masjid, si kakek sudah ada di masjid sejak lama dan seperti biasa sedang beribadah tanpa henti tidak terlihat tanda-tanda kelelahan di wajahnya.

Lama kelamaan si ‘Abid ada rasa iri dalam kebaikan, ingin rasanya dia beribadah seperti si kakek beribadah, sehari semalam tanpa kenal lelah. Dengan Rasa penasaran, si ‘Abid mendekati si kakek yang baru saja selesai dari ibadahnya. “wahai Kakek..akunperhatikan engkau sangat rajin beriibadah, tanpa kenal lelah..ingin rasanya akupun dapat beribadah kepada Allah seperti engkau, kalau tidak keberatan, beritahu aku apa rahasia sehingga engkau dapat beribadah seperti itu? Dengan tersenyum si kakek berujar “Aku khawatir kalau aku beritahu engkau rahasia kekuatanku ini,, engkau tidak akan sanggup melakukannya”.. “katakanlah.. mudah-mudahan aku sanggup melakukannya” ujar si ‘Abid. “Baiklah… akan aku beritahu rahasia agar kamu bisa beribadah dengan kuat… lakukanlah maksiat kepada Allah,, dengan begitu akan timbul penyesalan yang dalam atas perbuatan maksiatmu… dan pada saat itu kamu pasti dapat melakukan ibadah tanpa rasa lelah.

Sekilas pendapat si kakek masuk akal si ‘Abid. “akh..kenapa tidak…kalau untuk peningkatan ibadah melakukan maksiat yang kecil saya pikir tidak masalah”  gumam si ‘Abid dalam hati. “Baiklah… aku akan melakukan perbuatan dosa.. kira-kira apa yang harus aku lakukan..” Tanya si ‘Abid kepada si kakek. “ Disana ada seorang perempuan, berzinahlah dengan dia.. atau di sana ada seorang anak kecil, bunuhlah dia..” kata si kakek kepada si ‘Abid itu. “ Kenapa pilihannya berat sekali wahai kakek” sergah si ‘Abid. “tak adakah pilihan lain yang lebih ringan yang tidak harus merugikan orang lain” lanjut si ‘Abid. “Ada.. minumlah arak sampai kau mabuk” kata si kakek. Lama terdiam si ‘Abid,  akhirnya dia berkata “Baiklah” kata si Abid..”Aku pikir kalau hanya minum tidak apa-apa toh tidak ada yang dirugikan, hanya diriku sendiri yang dirugikan” gumam si ‘Abid  dalam hati.

Akhirnya pemuda tadi mulai minum arak,, seteguk demi seteguk sampai akhirnya mabuk. Pada saat dia mabuk perempuan yang tadi ditunjukan oleh si kakek lewat di depannya. Dalam keadaan mabuk, pemuda tadi melihat perempuan itu dan timbulah syahwatnya, kemudian dia mengajak perempuan tadi untuk berzina, namun perempuan tadi mengajukan syarat kepada pemuda tadi, kalau dia mau berzinah dengannya, dia harus membunuh anak kecil yang di tunjukan si kakek. Akhirnya dalam keadaan dikuasai oleh syhwat, pemuda tadi menyanggupi syarat yang diajukan. Dibunuhlah anak kecil tersebut, lalu setelah itu di berzina dengan perempuan tadi.

Singkat cerita. Si pemuda tersebut di tangkap aparat berwenang dan di jatuhi hukuman mati atas tuduhan pembunuhan anak kecil dan malakukan tindakan perzinahan.

 

Dari kisah diatas dapat kita ambil beberapa hikmah. Pertama. Prosesi ibadah kepada Allah harus didasari dengan ke ikhlasan hati. Karena pada dasarnya inti dari ibadah yang diterima oleh Allah adalah dari keikhlasan hatinya bukan hanya sekedar banyak dan lamanya beribadah. Kedua. Ibadah dalam islam tidak hanya terbatas pada ibadah yang bersifat ritual saja seperti shalat dan lain-lain, namun lebih daripada itu, seluruh unsur dan kegiatan sehari-hari yang diniatkan dengan baik dianggap sebagai ibadah yang akan mendapat pahala dari Allah SUbhanahuwata’ala. Seperti  tidur, dapat dikatakan ibadah dengan niat bahwa tidur untuk memberikan hak kepada mata, agar dapat menjalankan ibadah dengan penuh konsentrasi. Makan yang kita anggap sebagai kegiatan biasa sehari-hari dapat memiliki nilai ibadah bila di niatkan untuk menjaga kebugaran tubuh dan pada akhirnya dapat beribadah dengan khusyu’, bersosialisai dengan masyarakat secara baik juga ada nilai ibadahnya bahkan memberikan nafkah bathin kepada isteri kita merupakan satu bentuk ibadah yang memiliki nilai pahala bila diniatkan karena Allah dan begitu seterusnya, atau yang selanjutnya apa yang di sebut denga kesalehan sosial. Ketiga. Syaithan memiliki beribu-ribu macam upaya untuk menyesatkan umat manusia yang tujuannya untuk memperbanyak temannya di neraka. Dari mulai upaya langsung yang bersipat kasar, maupun upaya halus yang dibungkus dengan berbagai macam kenikmatan, dibungkus dengan logika sesaat, seakan-akan apa yang dilakukan itu benar dan masuk akal, padahal dalam menjalankan syari’at sisi akal tidak lebih hanya pendukung, sedangkan perintah syari’at yang tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunah itu yang paling utama. Artinya seorang mukmin sejati adalah mukmin yang menerima secara langsung tanpa reserve apa yang diperintahkan Al-Qur’an dan As-Sunah. Adapun penjelasan logika menyusul ada atau tidaknya penjelasan logika tidak harus berpengaruh pada menjalankan ibadah yang diperintahkan. ke empat. Hanya orang mukhlish (ikhlas karena Allah) yang akan selamat dari berbagai tipu daya dan godaan Syaithan. “Manusia semuanya akan binasa, kecuali orang-orang yang berilmu. Orang-orang yang berilmu akan binasa, kecuali orang-orang yang mengamalkan ilmunya. Dan orang yang mengamalkan ilmunyapun akan Binasa kecuali hanya orang-orang yang ikhlas (dalam mengamalkan ilmunya) (Al-Hadits). Dan ingat janji dan sumpah Syaithan ketika terusir dari surga.

لأغـوينهم أجمـعين إلا عبادك المخلصين

“ Sungguh Aku akan sesatkan mereka semua, kecuali hamba-hambamu yang berlaku ikhlas”.

Dan yang terakhir. Ini inti dari kisah diatas, jangan pernah kita meremehkan segala bentuk kemaksiatan sekecil apapun itu, mungkin saja dari menyepelekan kemaksiatan justeru akan menimbulkan kemaksiatan dan dosa yang lebih besar, bahkan pada saat kita melakukan kemaksiatan itu Allah tidak memberikan kesempatan kita untuk beristighfar. Na’udzu billahi min dzalikلا صغـائر مع الإستمـرار ولا كبـائر مع الاستغفـارTidak ada dosa kecil yang dilakukan secara terus menerus. Dan tidak ada dosa besar yang di sertai dengan Istighfar (Al-Hadits) Wallah’alam Bishawaab

Duren sawit 24 September 2008 M

24 Ramadhan 1429 H

 

Ditulis oleh :

Abdul Basith. S,Ag